Bicara air kemasan, orang Indonesia sudah terbiasa menyebut merek Aqua. Meski yang disodorkan kemudian adalah merek lain. Sebagai perusahaan pionir dalam produksi dan penjualan air kemasan, nama Aqua bukan saja menguasai brand image di mata konsumen di Indonesia melainkan juga sebuah nama perusahaan yang “tenar” ketika pemangku kepentingan, khususnya kalangan LSM, bicara soal kekeringan, konservasi dan privatisasi air.
Penelusuran berita yang terekam di Internet dalam 10 bulan terakhir, dapat dibaca sejumlah kasus yang terhubung dengan PT Danone Aqua. Di antaranya: penolakan eksplorasi Aqua oleh warga desa Paladung Kabupaten Karang Asem Bali, demonstrasi ratusan warga Kecamatan Polanharjo Klaten Jawa Tengah yang meminta kotribusi dana CSR dibagi secara adil, dan berita isu kekeringan di Desa Babakan Pari Kabuaten Sukabumi –Desa di mana pabrik Aqua beroperasi. Tak bisa disangkal, Danone Aqua sering menjadi incaran isu karena paling menonjol diantara perusahaan lain. Terutama dari sisi produksi yang paling besar (tahun 2013 menguasai + 40% pangsa pasar), serta distribusi yang paling luas.
Beranjak dari isu pula perubahan di internal Aqua mengubah cara perusahaan menyikapi perhatian para pihak. Namun, sebenarnya jejak kontribusi sosial-lingkungan program untuk CSR Danone Aqua sendiri bisa ditelusuri jauh sebelum Danone menjadi pemilik saham terbanyak.
Tonggak Pendewasaan Danone Aqua
Kontribusi sosial-lingkungan di Aqua sudah dimulai sejak sebelum CSR jadi tren saat ini di Indonesia. Tahun 80-an, Tirto Utomo aktif dalam berbagai kegiatan sosial, dimulai ketika ia giat beraktivitas di Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Dari sanalah mulai terbentuk komunitas sosialita yang banyak melakukan kegiatan-kegiatan sosial.
Suatu saat di awal tahun 1990an, Emil Salim (saat itu menjabat Menteri Negara Lingkungan Hidup) dan Erna Witoelar pernah mempertanyakan kepada Tirto Utomo tentang bagaimana penanganan sampah plastik yang dihasilkan Aqua. Sebuah pertanyaan yang menggugah pemikiran tentang tanggungjawab pengelolaan limbah perusahaan. Inilah yang kemudian mendorong Tirto Utomo bekerjasama dengan DML (Dana Mitra Lingkungan) untuk melaksanakan program peduli Aqua (pengembangan daur ulang limbah Aqua) pada akhir 80-an dan juga membentuk Sahabat Aqua. Selain kerjasama dengan DML, Tirto Utomo juga mendatangkan mesin pencacah plastik pada tahun 1993. Hal ini bisa dikatakan sebagai tonggak sejarah bagi Aqua, karena sejak itu sampah plastik menjadi memiliki nilai ekonomi dan bahkan terbentuk sebuah jaringan mulai dari pemulung-lapak-bandar-pencacah plastik-recycling industri hingga eksportir Cina. Ini adalah pertama di Indonesia. Namun bisa dikatakan di periode 1993-1998 sebagian besar kepedulian sosial Aqua tercermin dalam kegiatan filantropi.
Tahun 1998 Aqua dibeli oleh Danone, hingga tahun 2001 Danone memiliki saham mayoritas. Tonggak sangat penting setelah akuisisi saham oleh Danone adalah terjadinya demonstrasi di pabrik Aqua Klaten pada 2004. Demonstrasi Aqua Klaten pada saat itu menggunakan isu kekeringan yang disuarakan oleh Walhi. Gerakan advokasi Walhi ini merupakan respon terhadap ditetapkannya Undang-Undang no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dinilai banyak LSM sebagai pemberian tiket ke pihak swasta melakukan privatisasi air.
Respon manajemen saat itu adalah membuka komunikasi dengan para pemangku kepentingan di Aqua Klaten. Kala itu, Departemen Human Resources menjadi garda depan karena dipercaya mengurusi social affairs. Cukup besarnya tekanan pemangku kepentingan memberi pelajaran penting bagi Danone Aqua, manajemen harus bertindak cepat. Do Something First, saat itu dilakukan untuk menangani isu dan memperlihatkan kepada publik bahwa Aqua telah merespon isu yang menjadi perhatian pemangku kepentingan.
Setelahnya Danone mulai membentuk Departemen CSR dan merekrut orang-orang baru sehingga mulai terjadi perhatian terhadap CSR dari departemen-departemen lainnya. Hingga pada tahun 2005 di internal Aqua mulai banyak dilakukan diskusi mengenai CSR.
Acuan kegiatan CSR Danone Aqua
Insiatif-inisiatif Danone global sudah terlihat sejak tahun 2004, seperti saat inisiatif GRI dibicarakan, demikian juga dengan keterlibatan dalam perumusan ISO 26000. Dan jika dilihat dari kegiatan Danone Aqua terkait CSR di Indonesia, sebagian mengacu pada insiatif Danone di Prancis seperti program Caused Related Marketing (CRM) 1 untuk 10, maupun Ramsar.
Terbentuknya Departemen CSR tahun 2005 di Aqua menginisiasi pelaksanaan beberapa kegiatan, salah satunya Program Aqua Lestari yang merupakan sustainable initiative. Perspektif pengelolaan dampak pun mulai terlihat, di mana Danone kemudian melakukan kajian perhatian pemangku kepentingan serta isu yang harus ditangani perusahaan misalnya dari aspek transportasi, pengelolaan limbah, akses air, konservasi, program pengembangan masyarakat dan lainnya.
Di pihak internal sendiri masing-masing Departemen mulai bergerak menggarap dampak eksternalitas maupun peluang untuk memperbesar kontribusi positif yang terkait dengan aktivitasnya. Program Aqua 1 untuk 10 yang dimulai sejak 2006 misalnya, merupakan terjemahan Departemen Marketing terhadap tantangan mengambil peran strategis implementasi CSR Danone Aqua.
Selain itu pada tahun 2006, Danone Aqua bekerjasama Danone Wetland dan UNESCO membuat program pengenalan pendidikan lingkungan kepada siswa Sekolah Dasar melalui permainan Ramsar. Permainan berbentuk ular tangga dan monopoli yang isinya mengenai pengetahuan lingkungan. Program tersebut juga melibatkan dinas pendidikan dan sekolah-sekolah di daerah.
Tantangan ke Depan
Pada tahun 2010 Aqua mulai merapikan, memfokuskan strategi dan melihat kegiatan CSR secara komprehensif. Bagi Danone, untuk melakukan kegiatan CSR tantangan terbesar yang dihadapi yaitu membangun internal capacity. Karena kapasitas internal di pabrik belum ada maka sebelum tahun 2009 segala wewenang tersebut masih dipegang oleh Head Office (HO) Jakarta.
Seiring berjalannya waktu, saat ini insiatif lebih kuat difokuskan di penguatan lokal. Di level manajemen tertinggi sudah ada kesepakatan bahwa apa yang terjadi di pabrik harus bisa ditangani oleh pabrik itu sendiri. Sementara peran HO saat ini adalah membangun kapasitas dan melakukan hal yang belum bisa dilakukan oleh tingkat lokal, contohnya untuk engagement media massa. Secara prinsip tujuannya adalah bagaimana setiap pabrik mampu mandiri mengidentifikasi dan menangani risiko operasional.
Setiap pabrik ditantang merancang Program CSR dimulai dari Social Assessment, Stakeholder Mapping dan Risk Mapping. Tahun 2013 ini, semua pabrik dan proyek telah melakukan Risk Mapping. Karena isu merupakan realitas yang harus dihadapi, oleh setiap pabrik hal tersebut dimasukan kedalam risiko. Bagi Danone, ide setiap pabrik dapat memitigasi resikonya sendiri dipersiapkan perusahaan mengingat isu yang dihadapi terutama dari pemangku kepentingan eksternal selalu muncul dan relatif sama dari tahun ketahun seperti isu kekeringan, akses air bersih, transportasi, konservasi lingkungan, soal penguasaan sumberdaya air maupun kontribusi sosial. Apalagi seperti dinyatakan di awal, popularitas Danone Aqua justru menjadikannya sebagai target pemangku kepentingan yang memiliki perhatian terhadap isu seputar sumberdaya air.
Sumber: csrindonesia.com Foto: lahorrativa.blogspot.com, forbes.com